Hilangnya Moral Dalam Pendidikan

Al-Fatihah utk almarhum pak guru Ahmad Budi Cahyono

HORMATI GURUMU, SAYANGI TEMANMU, AGAR KAU JADI MURID BUDIMAN
=================
(by : Iramawati Oemar)


"Oh Ibu dan Ayah selamat pagi... ๐ŸŽผ
Ku pergi belajar sampai kan nanti."๐ŸŽต

"Selamat belajar, Nak penuh semangat.
Rajinlah selalu pasti kau dapat... " ๐ŸŽถ
"HORMATI GURUMU, SAYANGI TEMANMU,
itulah tandanya kau murid BUDIMAN..."
๐ŸŽค๐ŸŽท๐ŸŽผ

Ini lagu anak-anak lawaaasss, lagu djadoel.
Jika anda seumuran saya, tentu pernah diajarkan lagu itu di TK atau SD kelas 1.
Meski djadoel, namun itulah esensi PENDIDIKAN yang sebenarnya.

Lagu itu menggambarkan seorang anak yang berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi "belajar".
Kedua orang tuanya merestui sambil mengucap pesan agar sang anak rajin.
Jaman dulu, falsafah "rajin pangkal pandai" benar-benar dipegang. Ketekunan adalah kunci untuk jadi pintar. Tak ada jalan pintas dengan membeli bocoran. Tak ada yang membeli privelege untuk bisa lebih pintar dengan cara les. "Rajinlah selalu, pasti kau dapat".

Pesan moralnya ada di kalimat terakhir : "HORMATI GURUMU, SAYANGI TEMANMU, ITULAH TANDANYA KAU MURID BUDIMAN"

Orang tua menekankan bahwa tujuan anaknya BELAJAR adalah untuk jadi murid yang BUDIMAN, murid yang BERBUDI, atau lengkapnya BERBUDI PEKERTI LUHUR.

Karena itu dulu ada pelajaran budi pekerti. Pelajaran yang mengajarkan anak tumbuh jadi orang yang ber-AKHLAK BAIK, atau AKHLAQUL KARIMAH.

Orang tua mempercayakan sebagian tugas membentuk anak jadi budiman itu kepada guru. Itu sebabnya anak dipesankan agar HORMAT pada guru.
Maka tak heran jika anak-anak seumuran saya jaman dulu, kalau di sekolah nakal dan dihukum guru, tak bakal berani mengadu pada ortu. Baik guru di sekolah maupun guru mengaji.
Sebab, kalau lapor ortu, bukannya dibela malah dapat bonus dimarahi.
Ortu "menitipkan" anak kepada guru untuk dididik, dibina. Karena itu ortu mengambil posisi sejajar, segaris lurus dengan guru. Anak-anak pun tidak bingung, nilai-nilai mana yang harus mereka ikuti.

Jaman sekarang, nyaris hampir tiap bulan selalu ada saja pemberitaan konflik guru dan siswa plus orang tua siswa. Pernah ada seorang guru yang memergoki siswanya kelayapan ketika saatnya sholat Dhuha. Sang guru menjewer muridnya. Tindakan yang sangat wajar sebenarnya. Jeweran mengingatkan.
Tapi, si anak mengadu pada ortunya dan ortu anak itu melaporkan sang guru ke polisi dan memperkarakan sang guru secara hukum. Astaghfirullah...
Bukannya instrospeksi anaknya bandel, malah guru yang disalahkan.

Masih banyak lagi cerita serupa.
Puncaknya, kemarin seorang siswa menganiaya gurunya hingga akhirnya meninggal dunia.
Dipukuli di kepala bak orang kalap, dan itu dilakukan di kelas. Tak puas menganiaya gurunya di kelas, siswa kurang ajar itu mencegat gurunya sepulang sekolah. Entah setan apa yang merasuki pikirannya. Gurunya dia anggap musuh.

Beberapa tahun lalu, ketika hari guru, saya menonton tayangan berita di TV, sebuah sekolah SMA siswa-siswinya mengadakan peringatan hari guru seperti mengadakan acara hura-hura ultah mereka. Para siswa patungan membeli kue ulang tahun, lalu kue itu dijadikan bahan dioleskan ke wajah guru-guru mereka, bahkan ada siswa yang mengoleskan krim kue di kepala gurunya. Sama sekali tak ada rasa hormat.
Ironisnya, narasi berita itu seakan menggambarkan keakraban siswa dan guru.
Astaghfirullaah...
Bukankah guru adalah pengganti orang tua jika di sekolah? Pantaskah diperlakukan seperti kepada teman?!

Bukan hanya berita seputar konflik siswa dan guru, yang tak pernah sepi dari pemberitaan adalah kasus bullying antar siswa di sekolah. Bukan hanya kepada adik kelas, tetapi juga teman sekelas. Bukan hanya anak SMA yang sudah remaja, atau siswa SMP yang sudah ABG, bahkan anak SD yang masih bocah pun sudah jamak melakukan bullying. Ngerinya lagi, bully-an anak sekolah jaman now kadang luar biasa dahsyatnya, bikin miris dan gak masuk akal.
Bukan hanya verbally, tetapi juga physically.
Terakhir, saya dengar kabar seorang siswa SD yang ikut bermain bola, namun tendangannya menyebabkan gol bunuh diri. Sebagai ganjarannya, dia dikeroyok teman-temannya hingga akhirnya dibawa ke RS dan kemudian meninggal.
Yang level SMA malah "mainan"nya sudah saling "mengadu" temannya bak gladiator.

Bukan hanya pesan "HORMATI GURUMU" yang hilang, namun juga "SAYANGI TEMANMU" pun sudah sirna.
Ketika anaknya terlibat jadi pelaku bullying, orang tua akan balik membela anaknya. Sehingga si anak tak merasa bahwa perbuatannya adalah suatu kesalahan besar, sesuatu yang terlarang.

Sepenggal lagu anak-anak djadoel itu meski liriknya sederhana dan pendek, namun esensinya dalam.
Orang tua menanamkan BUDI PEKERTI kepada anaknya agar hormat pada gurunya dan sayang sesama temannya. Bukan IQ yang tinggi yang dikejar, namun EQ yang matang yang dituju.

Murid jaman now, pada gurunya kurang ajar, pada temannya suka saling bully sampai babak belur bahkan mati.

Ada yg hilang dari bangsa ini. KEADABAN, NURANI, BUDI PEKERTI, AKHLAK!
Itulah yang makin lama kian sirna.
Mungkin lama-lama anak berangkat sekolah tak perlu lagi pamit pada ortu. Kalaupun pamit, cukup berteriak dari halaman rumah sambil menstarter motornya. Tak ada cium tangan ortu.
Sampai di sekolah, yang penting masuk kelas, guru dihadapi sebagai orang bayaran yang seolah harus mengabdi pada murid. Guru dianggap "pekerja" yang tugasnya mengajarkan angka dan aksara semata. Tak perlu ikut campur mengatur murid harus begini dan begitu.

Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uun...
Adakah kehilangan yang lebih besar dari pada kehilangan AKHLAQUL KARIMAH?!

Jika masih jadi siswa saja mereka sudah sedemikian kurang ajarnya, bagaimana kelak kalau sudah dewasa?!
Tampaknya ada yang salah dalam sistem pendidikan "modern" yang berorientasi pada nilai (angka) semata, bukan value.
Dahulu ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila.
Saya ingat, sewaktu SD, guru PMP saya banyak menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, keadilan, dll.
Jaman sekarang dimana banyak orang berteriak "Saya Pancasila", tapi pelajaran MORAL Pancasila malah ditiadakan.
Bahkan, yang menyebut salah satu simbol pancasila adalah bebek nungging, malah dijadikan duta.

Jika MORAL sudah dihilangkan dari menu PENDIDIKAN anak-anak kita, maka tak perlu heran jika yang dihasilkan adalah robot-robot materialisme yang pintar secara IQ, tapi gersang EQ-nya, kosong SQ-nya.

Hormat kami untuk para guru di seluruh penjuru tanah air. Ingatlah, tugas mulia anda semua adalah mendidik, bukan sekedar mengajar.

Kepada guru Ahmad Budi Cahyono, semoga kematiannya jadi tonggak introspeksi sistem pendidikan kita yang kosong nilai-nilai moral.

=IO=

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hilangnya Moral Dalam Pendidikan "

Posting Komentar